Di Bawah Hujan Sore Hari
6 jam lalu
Andai saja seseorang, siapa pun, memanggil namanya sekarang—mungkin ia akan berhenti. Mungkin masih ada alasan untuk kembali.
***
HUJAN turun deras, menutup langit sore kota dengan tirai kelabu. Jalanan macet, lampu kendaraan memantul di genangan air, dan payung-payung berwarna-warni berdesakan di trotoar sempit. Orang-orang bergegas, seolah hujan hanyalah rintangan kecil dalam hidup mereka.
Namun bagi seorang wanita muda yang berjalan sendirian sore itu, hujan terasa berbeda.
Ia melangkah pelan, seakan tak terburu-buru. Payung mungilnya berwarna biru muda, terlalu kecil untuk menahan derasnya air. Ujung sepatunya sudah becek, rok kantoran yang ia kenakan basah di bagian bawah. Rambut hitamnya menempel di pipi pucat, menambah kesan lelah pada wajah yang sebenarnya jelita.
Dari jauh, orang bisa saja mengira ia sekadar pekerja kantoran biasa, baru pulang setelah seharian di kubikel. Namun bila diperhatikan lebih dekat, langkahnya aneh: terlalu pelan, terlalu kosong, seolah ia tak benar-benar punya tujuan.
***
Ia berhenti di depan etalase toko roti. Uap hangat dari oven membuat kaca berembun, di baliknya tampak roti keemasan yang baru keluar. Orang-orang antre, tertawa sambil menunjuk roti pilihan mereka. Wanita itu menatap lama, tapi bukan karena lapar. Ada sesuatu pada kehangatan itu yang membuat dadanya sesak. Seperti sesuatu yang tak pernah ia miliki.
Ia menghela napas panjang, tersenyum samar, lalu kembali berjalan.
Di sebuah halte sepi, ia duduk. Payungnya ia lipat, dibiarkan tergeletak di samping. Hujan menimpa bahunya, menetes dari ujung dagu. Ia menatap jalan raya, deretan mobil yang berhenti dan maju tak tentu arah. Di wajahnya, ada semacam ketenangan yang aneh, seperti seseorang yang sudah selesai berdebat dengan dirinya sendiri.
"Indah sekali dunia ini, kalau dilihat dari jauh," bisiknya lirih, hampir tak terdengar di antara deru hujan.
***
Kepalanya menunduk. Ia teringat kamarnya di kos-kosan sempit, di lantai tiga bangunan tua yang catnya mengelupas. Di sana, sunyi menunggu setiap malam. Kadang ia membiarkan televisi menyala tanpa suara, sekadar agar ada cahaya yang menemani. Ponselnya jarang berbunyi, kecuali notifikasi kerja atau panggilan dari rumah yang sering ia abaikan.
Ia masih ingat percakapan terakhir dengan ibunya, beberapa bulan lalu.
"Kapan pulang, Nak? Ayahmu rindu."
Ia menjawab singkat: "Nanti, Bu. Kalau sempat."
Tapi ia tahu, waktu "nanti" itu tidak pernah benar-benar ada. Ia sibuk bekerja, sibuk mengejar sesuatu yang bahkan tak lagi ia pahami.
***
Langkahnya kembali menuntun ke pusat kota. Gedung-gedung tinggi berdiri seperti raksasa, lampu-lampunya berkelip di balik hujan. Ia memandangi setiap gedung, seolah ingin menyimpannya dalam ingatan.
Sesekali ia menatap wajah orang-orang: seorang ayah yang menggandeng anaknya, sepasang kekasih yang berlarian menyeberangi jalan, sekelompok remaja yang tertawa sambil memotret diri dengan ponsel.
Ia tersenyum lagi, kali ini lebih dalam. Senyum orang yang sedang menghafal, bukan menikmati.
Tangannya menggenggam sesuatu di saku jaket: sebuah tiket kereta yang ia beli pagi tadi. Kereta jarak jauh, tujuan kota kelahirannya. Namun semakin sore, ia semakin sadar—tiket itu hanyalah formalitas. Ia tak pernah benar-benar berniat naik kereta itu.
***
Malam hampir tiba. Hujan belum reda. Ia sampai di jembatan penyeberangan yang melintas di atas jalan raya besar. Dari sana, lampu kendaraan tampak memanjang, berkilau seperti aliran bintang jatuh di bumi. Ia berdiri lama, terpaku pada pemandangan itu.
Tangannya gemetar saat membuka payung, lalu meletakkannya perlahan di lantai jembatan. Air menetes dari rambutnya, mengalir di leher. Ia menarik napas panjang, dada naik turun seperti menahan sesuatu yang berat.
"Hujan ini… seolah tahu," gumamnya.
Kedua tangannya meraih pagar jembatan. Ia menatap ke bawah, ke arus kendaraan yang tak henti bergerak. Di dadanya, ada ketenangan yang aneh, bercampur dengan rasa dingin yang menusuk.
Sejenak, ia menutup mata. Dalam pikirannya, ada harapan kecil yang samar: andai saja seseorang, siapa pun, memanggil namanya sekarang—mungkin ia akan berhenti. Mungkin masih ada alasan untuk kembali.
Namun kota terlalu sibuk. Orang-orang berlari dengan payungnya masing-masing. Tak seorang pun menoleh ke arah wanita muda yang berdiri di bawah hujan sore hari.
Dan, di atas jembatan itu, hanya tersisa payung biru muda yang dibiarkan basah kuyup, ditinggalkan pemiliknya.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

Di Bawah Hujan Sore Hari
6 jam lalu
Menyambut (Isu) Pergantian Kapolri
22 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler